Sri Budi Astuti, Kemampuan Berbahasa Lisan Siswa Tunarungu di Sekolah
Inklusif: Penelitian Kualitatif pada Magister Pendidikan Bahasa Indonesia. Sekolah
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA. Mei 2014.
Setiap manusia secara fitrah memiliki kemampuan berbahasa untuk
menjalin komunikasi dengan sesamanya, tidak terkecuali bagi anak tunarungu yang
juga berkeinginan untuk terus mengembangkan potensinya dalam berbahasa lisan,
maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berbicara
siswa tunarungu saat berkomunikasi di sekolah inklusif ditinjau dari aspek
pelafalan, pilihan kata (diksi), jenis kalimat, dan pemahaman.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Tempat penelitian adalah
SMK Negeri 32 dengan subjek penelitian adalah lima (5) siswa tunarungu. Teknik
pengumpulan data diperoleh dari observasi, wawancara, dokumentasi, dan catatan
lapangan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan interactive model
analysis dari Miles dan Huberman yang meliputi tahap reduksi data, penyajian data,
dan verifikasi data atau penarikan simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa tunarungu di sekolah inklusif
mempunyai kesulitan berbahasa lisan. Kesulitan dalam aspek pelafalan adalah
melafalkan bunyi /k/, /g/, /ny/, /ng/, sebagian yang lain kesulitan melafalkan bunyi
/d/, /s/, dan /j/. Bunyi /h/ pada suku awal sebuah kata, tidak dilafalkan dengan jelas,
sedangkan bunyi /r/ dilafalkan sangat jelas. Kesulitan dalam aspek pilihan kata
(diksi) siswa, ditemukan pada penggunaan diksi yang kurang tepat dan tidak baku.
Kalimat yang digunakan dalam berkomunikasi sebagian besar adalah kalimat
tunggal, baik kalimat lengkap maupun kalimat taklengkap, sedangkan kalimat
majemuk sangat terbatas penggunaannya. Selain itu, keterbatasan pemahaman
siswa tunarungu terjadi karena tidak adanya terarahwajahan, dan tidak adanya
terarahsuaraan lawan bicara pada siswa tunarungu saat bercakap-cakap dan saat
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
Siswa tunarungu dalam komunikasi membutuhkan keterarahwajahan dan
keterarahsuaraan lawan bicaranya. Tingkat ketunarunguan ternyata berpengaruh
terhadap kemampuan berbicara siswa tunarungu. Secara umum, siswa tunarungu
tergolong kurang dengar (hard of hearing) memiliki kemampuan komunikasi lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa tunarungu tergolong tuli (deaf). Pengetahuan
tingkat ketunarunguan bermanfaat dalam membantu peningkatan kemampuan
berbicara siswa tunarungu. Sekolah inklusif dapat menentukan kebijakan
berdasarkan temuan tentang tingkat ketunarunguan dan kemampuan berkomunikasi
siswa tunarungu.
|