Abstrak  Kembali
Tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan layanan pendidikan dari aspek kebijakan internal sekolah, kurikulum dan proses pembelajaran, serta sistem pendukung bagi anak penyandang autisme di SDN-Inklusif di Kota Batu, Jawa Timur. Penelitian ini juga bertujuan menemukan alternatif rekomendasi bagi orangtua, sekolah, dan pemerintah untuk mengatasi masalah layanan pendidikan bagi anak penyandang autisme di SDN-Inklusif Metode yang digunakan adalah metode studi kasus, pendekatan kualitatif, pada 3 siswa penyandang autisme di SDN-Inklusif Tlekung 02 dan SDN-Inklusif Mojorejo 01 Wawancara mendalam dilakukan pada informan. Observasi digunakan untuk menjaring data perilaku kasus sehari-hari di rumah dan dalam proses pembelajaran. Wawancara dilakukan pada 20 orangtua murid normal di kedua sekolah tersebut untuk mengetahui sikap dan jarak sosial terhadap kehadiran anak penyandang autisme di sekolah anak mereka. Hasil peneltian dapat disimpulkan sbb.: (1) Layanan pendidikan inklusif yang dialami kasus masih bersifat permukaan (surface service), baru berorientasi pada penempatan anak penyandang autisme pada sekolah umum. (2) Pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Batu menyimpan masalah sumber daya manusia (SDM), status guru, dan gaji guru, yang disebut sebagai “topik mencolok” (salient topics). (3) Layanan pendidikan inklusif di Kota Batu cenderung dipersepsikan sama dengan “mainstreaming”, anak harus menyesuaikan diri dengan sistem sekolah atau kelas reguler. (4) Masih adanya hambatan sikap berupa penolakan sosial (social rejection), terutama dari orangtua murid normal jika anak mereka bersahabat dan berada dalam ruang kelas yang sama dengan siswa autisme (5) Tidak adanya kerja sama antar komponen sistem pendukung sehingga pelaksanaan pedidikan inklusif tampak seperti “unit sistem pendidikan yang terpisah” (exclusion subsystem sub-sistem yang tereksklusi) Saran yang diajukan: (1) Pemerintah Kota Batu menciptakan kesadaran masyarakat dan sosialisasi masyarakat, melakukan pengkajian kembali (monitoring dan evaluasi) terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif dengan melibatkan lembaga-lembaga terkait (SLB dan sekolah autisme), memberi perhatian khusus kepada “guru kelas inklusif” atau “guru pendamping”, menggalakkan kerja sama dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah, dan menggiatkan program-program pendampingan. (2) Sekolah memberikan kesetaraan kesempatan pendidikan bagi semua anak, menyediakan dukungan pelaksanaan pendidikan inklusif, meninjau kembali kebijakan di tingkat sekolah, mengoptimalkan kerja sama seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder), dan secara aktif, tenaga pendidik berupaya untuk meningkatkan profesionalitas dan mutu pengetahuan diri sendiri. (3) Orangtua diharap mampu bersikap terbuka untuk mengetahui hal-hal baru tentang pendidikan anak penyandang autisme, bersedia bekerja sama dengan sekolah dalam hal pendampingan dan pembelajaran anak, dan bagi orangtua siswa normal harus bersikap terbuka menerima keragaman siswa sebagai kekayaan layanan pendidikan untuk semua.