OPAC
Perpustakaan
Integrity, Trust, Compassion
 Deskripsi Lengkap
 Kembali
No. Panggil : JI08-JSIPRO Januari 2006 Vol.8 No.1
Judul : Legislasi Syariat Sebagai Bentuk Ijtihad Kolektif
Pengarang : Abdul Helim
Penerbit dan Distribusi : Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta p.59-90
Subjek : Islam - Syariat
Jenis Bahan : {007/00}
Lokasi : Limau
 
  • Ketersediaan
  • File Digital: 0
  • Ulasan Anggota
  • Sampul
  • Abstrak
Nomor Panggil No. Barkod Ketersediaan
JI08-JSIPRO Januari 2006 Vol.8 No.1 TERSEDIA
Ulasan Anggota:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 47507
 Abstrak
Selama ini syariat hanya dipahami sebagai segala peraturan Allah baik yang menyangkut akidah, akhlak, atau fiqih. Namun sebenarnya sejak lama bahasa syariat ini direduksi hanya untuk menunjukkan kepada makna fiqh. Telah diketahui fiqh adalah hasil ijtihad para mujtahid, namun ia bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan undang-undang yang berlaku di Indonesia juga termasuk hasil pemikiran, namun ia bukan bersumber sebagaimana sumber fiqh, tetapi masih dipengaruhi bahkan meneruskan warisan kolonial. Kini, apa bedanya hukum-hukum tersebut dengan fiqh, selanjutnya disenut syariat, sementara semua orang mengetahui bahwa kompetisi, kredibilitas, integrasi antara keimanan dan keilmuan para mujtahid jauh lebih tinggi daripada perumus dan penerus warisan tersebut. Berdasarkan hal ini, sebenarnya tidak ada argumentasi lagi untuk menolak legislasi atau tasyri syariat Islam menjadi undang-undang positif Islam di Indonesia. Sebab dalam kesehariannya setiap orang tidak pernah lepas dari syariat, bahkan setiap detik tarikan napasnya, ia selalu bersentuhan dengan syariat. Selain itu, proses legislasi ini sebenarnya lebih ringan daripada yang dilakukan para mujtahid terdahulu dalam menemukan hukum. Sebab yang dinamakan legislasi atau tasyri syariat untuk ditetapkan menjadi hukum positif hanya "memetik" hasil pemikiran syariat yang terdapat dalam berbagai kitab mujthid terdahulu. Namun, proses ini tetap dinamakan ijtihan dan pelakunya juga dinamakan mujtahid, hanya saja tingkatan ijtihadnya pada tataran ijtihad tahqiq al-manath, atau ijtihad takhriji yang kemudian dilakukan dengan ijtihad tarjihi, atau dalam istilah lain disebut ijtihad thathbiqi. Kendati tingkatan ijtihad yang dilakukan berbeda dengan tingkatan ijtihad para mujtahid terdahulu, namun tidak semua orang dapat melakukannya. Walaupun demikian, sebagai bangsa yang mayoritas tentunya tidak sedikit diantara masyarakat Islam yang berpotensi sesuai atau tidak jauh berbeda dengan kriteria-kriteria seorang mujtahid. Hal ini, dipastikan tidak lepas dari peran pemerintah dan layaknya apabila proses ini diserahkan kepada pra ulama atau mujtahid di Indonesia.
|| Pengguna : Perpustakaan || Tampilan terbaik dengan  Firefox