Abstrak
Kearifan lokal yang dimiliki suatu budaya dapat menjadi suatu sarana dalam penyelesaian konflik antarbudaya. Kondisi yang tengah terjadi sekarang ini, budaya warga perkotaan khususnya warga DKI Jakarta, cenderung menyelesaikan konflik dengan cara-cara kekerasan. Budaya ini berbanding terbalik dengan budaya Bugis yang sangat memperhatikan dan menyelesaikan suatu konflik dengan menggunakan kearifan lokal yang dimiliki budaya mereka. Dari kedua perbedaan latar belakang kebudayaan inilah, film ?Tarung Sarung? ingin mencoba memberikan gambaran dan pemahaman kepada khalayaknya dalam usaha memahami kearifan lokal yang dimiliki budaya Bugis dalam penyelesaian konflik. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi kearifan lokal budaya Bugis dalam penyelesaian konflik dalam film ?Tarung Sarung? ? Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes, pendekatan kualitatif, jenis penelitian deskriptif, dengan menggunakan metode analisis semiotika model Roland Barthes untuk menjelaskan makna denotasi, konotasi, dan mitos yang menjadi representasi dari kearifan lokal budaya Bugis dalam penyelesaian konflik. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumentasi, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari enam adegan yang telah dipilih, Film ?Tarung Sarung? merepresentasikan kearifan lokal budaya Bugis dalam penyelesaian konflik. Representasi kearifan lokal budaya Bugis dalam penyelesaian konflik yang dibangun oleh tanda-tanda yang terdapat pada film ini berupa penanaman nilai-nilai atau prinsip hidup yang dilakukan oleh tokoh Pak Khalid melalui aktivitas atau kegiatan sehari-hari, yaitu dengan menanamkan nilai kepatutan (assitinajang), kesetiakawanan (pacce), usaha (reso), keteguhan (agettengeng) selama proses latihannya dengan Deni Ruso untuk melawan Sanrego. Serta terlaksananya tradisi penyelesaian konflik yang dimiliki budaya Bugis yang disebut dengan Sigajang Laleng Lipa yang dilakukan oleh Pak Khalid dengan teman dimasa lalunya. Dan penanaman prinsip malu (siri?) yang dilakukan Sanrego kepada Deni Ruso sebagai cara mempertahan martabat dan harga diri budaya Bugis.