Abstrak
Untuk meredam peningkatan virus Covid-19, pemerintah mengadakan program vaksinasi. Namun, survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan bersama ITAGI tercatat sebanyak 16.686 responden menolak divaksin. Salah satunya anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sekaligus politisi dari Faksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Ribka Tjiptaning yang menyuarakan pesan penolakannya di hadapan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja pada 12 Januari 2021. Ribka menjadi orang pertama di Indonesia yang menolak divaksin. Penelitian ini bertujuan untuk membongkar makna pernyataan Ribka Tjiptaning tentang penolakan vaksinasi Covid-19 melalui aspek kebahasaan. Fokus penelitian ini membahas hasil analisis wacana kritis Norman Fairclough melalui teks, praktik diskursif, dan praksis sosio-budaya yang melatarbelakangi penolakan vaksin Covid-19. Penelitian ini memanfaatkan dua teori. Pertama, teori analisis wacana kritis dari Norman Fairclough yang menjelaskan bagaimana wacana terbagi menjadi tiga dimensi yaitu teks, praktik diskursif, dan praksis sosio-budaya yang melatarbelakangi suatu teks. Kedua, teori tindak tutur dari J.L. Austin untuk melihat unsur pragmatik di dalam teks yang menjadikan wacana itu muncul, antara lain lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Penelitian ini merupakan kualitatif dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Paradigma yang digunakan adalah kritis. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Peneliti melakukan wawancara dengan mewawancarai dua informan, yaitu pengamat bahasa, Ivan Lanin dan ahli bahasa dan hukum Badan Bahasa, Saefu Zaman, demi memperkuat hasil analisis peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana penolakan vaksin Covid-19 yang dilakukan Ribka Tjiptaning merupakan gambaran kekhawatiran masyarakat Indonesia mengenai program vaksinasi yang belum selesai tahap keamanan uji klinis hingga adanya dugaan kapitalisasi vaksin. Selain itu, di dalam wacana penolakan juga tidak terlepas dengan unsur pragmatik yang memiliki makna menyindir.